Jiwa manusia ini termasuk salah satu ciptaan Allah s.w.t. yang sangat menakjubkan, dia siap sedia untuk berubah-ubah sebagaimana yang disebutkan Allah s.w.t., "Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya." (QS. Asy-Syams:7-8)
Dan sesuai dengan kadar usaha manusia yang dicurahkan, jiwa itu akan terbentuk dengan kecenderungan kepada ketakwaan atau pun kedurhakaan, "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (QS. Asy-Syams: 9-10)
Permasalahan yang sering timbul pada kebanyakan orang itu adalah, ketidakpahaman mereka kepada karakteristik jiwa yang berubah-ubah serta siap untuk berubah-berubah ini, dari kedurhakaan berubah menjadi ketakwaan dan sebaliknya, di samping itu juga sebagaimana yang disebutkan Allah s.w.t. dalam al-Qur'an al-Karim, bahwasanya jiwa itu memiliki sifat dasar menyuruh pada kejahatan (amarah), "Sesungguhnya nafsu (jiwa) itu menyuruh pada kejahatan." (QS. Yusuf: 53) Kecuali jiwa yang dirahmati tuhanku, pengecualian ini khusus bagi orang-orang yang senantiasa mau mendidik dan mensucikan jiwanya, hingga beralih menjadi jiwa yang tenang (muthmainnah) atau jiwa yang menyesali dirinya sendiri (lawwamah) yang dengannya Allah bersumpah dalam al-Qur'an al-Karim.
Supaya seorang muslim itu berhasil dalam pendidikan jiwa ini, maka di harus mengetahui karakter-karakter utama yang dimiliki oleh jiwa ini, serta jalan-jalan yang mesti dilaluinya agar sampai ke relung jiwa yang terdalam dengan selamat tanpa ada kendala yang berarti, di antara berbagai karakter dan tabiatnya itu yang paling utama adalah:
1. Jiwa itu, sebagaimana yang telah kami sebutkan, siap untuk berubah-ubah, dari baik menjadi buruk dan sebaliknya, dan ini tergantung pada seberapa jauh usaha manusia dalam mendidik dan atau menyesatkannya.
2. Jiwa itu mirip dengan otot dari segi pertumbuhan dan perkembangannya, otot yang diciptakan Allah s.w.t didalam badan seseorang itu akan mengeras, kencang dan kuat ketika orang tersebut mulai mengeluarkan tenaga manusiawi yang disebut dengan permainan olah raga, dan bahwasanya jika dia memforsir dirinya dengan berbagai permainan ini sejak permulaan tanpa adanya tahapan-tahapan, maka hal itu akan bisa berakibat menimbulkan berbagai penolakan yang pada gilirannya dia tidak bisa bermain lagi selama hidupnya, atau barangkali hal itu akan menimbulkan cedera pada dirinya untuk selamanya atau pun sementara.
3. Bahwasanya jiwa ini juga seperti halnya otot dari segi pertumbuhan secara bertahap, dia tumbuh sedikit demi sedikit hingga menjadi keras dan kuat, maka, orang-orang yang membawa beban-beban berat dan besi, badan mereka tidak akan menjadi kuat dengan kemampuan ototnya seperti ini melainkan setelah usaha keras selama bertahun-tahun dan bukan dengan latihan sekali atau dua kali saja, tapi pertumbuhannya melalui tahapan-tahapan.
4. Untuk menjaga perkembangan otot ini, harus ada latihan secara berkesinambungan, jika terputus otot-otot ini akan akan berubah menjadi lemak dan pemekaran pada daging, dan jasmani yang indah itu berubah menjadi buruk.
5. Demikian juga para ahli olah raga menyarankan agar seseorang itu memulai latihan-latihan yang mudah, hingga dia menekuninya kemudian beralih ke latihan yang sulit.
Dari semua hal ini kita bisa menggambarkan rencana amal perbuatan untuk mendidik jiwa, agar kita dapat menembus relung jiwa yang paling dalam dengan rahmat dan karunia Allah, dan di dalamnya kita dapat sampai pada puncaknya dengan jalan yang paling mudah dan paling aman:
Pertama: kita harus memulai dengan ketaatan yang ringan terlebih dahulu, maka, orang yang baru mendapatkan petunjuk atau yang telah terputus beberapa waktu setelah sampai ke puncak, kemudian kembali, maka dia harus memulai dari yang mudah yang sesuai dengan tingkatannya dari segi kemampuan, sehingga tidak membuatnya lari sejak memulai perjalanan. Di antara kesalahan yang fatal adalah mengharuskannya bersemangat yang menggelora sejak awal dengan membebani amalan ketaatan yang sulit dan beribadah yang banyak, akibatnya dia akan lari menghindar secepatnya, karena dia tidak siap untuk mengemban hal itu -sebagaimana halnya otot.
Kedua: bertahap dalam melangkah, misalnya, saya memulai dengan melakukan ibadah seperti mengikuti beberapa langkah berikut ini: Dua rakaat sebelum tidur, di dalamnya membaca surat-surat pendek dalam jangka waktu tertentu, bisa tiga bulan atau lebih, hingga bila telah melihat ada kekuatan yang lebih pada dirinya, beralih ke surat-surat yang panjang.
Empat rakaat sebelum tidur, di dalamnya membaca surat-surat pendek selama kurun waktu tiga bulan atau empat bulan.
Tetap mengerjakan shalat empat rakaat ini sebelum tidur, dan berniat pada suatu malam mengerjakan shalat enam rakaat dalam sepekan. Dan terus begitu selama beberapa waktu.
Jika dia melihat ada kemampuan dan kekuatan pada dirinya, hendaknya menentukan satu malam dalam sepekan untuk mengerjakan shalat dua rakaat sepuluh menit sebelum subuh, dan terus begitu selama beberapa waktu dan bisa lebih lama lagi, hingga dia mendapatkan pada dirinya kekuatan lantas semakin bertambah.
Dan demikian juga langkah-langkah ini senantiasa dilakukan pada ibadah-ibadah lainnya, yang terpenting dalam hal itu adalah bertahap. Di dalam al-Qur'an atau Sunnah tidak ada teks-teks yang menunjukan pada jumlah tertentu pada setiap langkah, itu semata-semata tergantung pada ijtihad yang bersumber dari dasar pijakan yang ditunjukan Nabi s.a.w. kepada kita dalam sebuah pernyataan,
"Sesungguhnya agama ini keras, maka masukilah ia dengan lembut." (HR. Ahmad, hasan)
"Tak seorang pun yang mempersulit diri dalam urusan agama kecuali ia akan terbebani." (HR. Bukhari)
Ketiga: mendidik secara berkesinambungan, kaidahnya, bahwasanya membiarkan jiwa selama beberapa waktu secara terpisah-pisah dan tidak teratur tidak pula berkesinambungan akan membuatnya terjebak pada kebimbangan dan kelemahan, ini persis yang terjadi pada otot saat seorang olahragawan memperlakukannya seperti perlakuan ini.
Rasulullah s.a.w. telah memberi kita secercah cahaya kerasulan yang dapat membantu kita dalam pendidikan ini, yaitu saat beliau berkata,
"Amal perbuatan yang paling dicintai Allah itu adalah yang paling berkesinambungan walaupun sedikit." (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat: bertanya kepada para ahli dan meyakinkan diri pada langkah-langkah yang diambil. Dan karena dalam hal ini banyak orang yang tergelincir bahkan mungkin orang bisa jauh dari keseriusan yang benar, akibatnya menempuh jalan yang tidak benar lantas dilanda kebingungan, dan setelah itu sulitlah baginya untuk kembali lagi, maka harus bertanya kepada orang-orang yang ahli dalam bidang ini, mereka yang berjalan sesuai dengan petunjuk Nabi s.a.w., jauh dari berbagai hal yang diada-adakan pada agama ini agar mereka dapat memberinya petunjuk ke jalan yang benar, dan untuk memperbaiki perjalananya jika dia telah menyimpang dari sunnah, ini persis seperti orang yang ingin membentuk serta mengembangkan ototnya, dia bertanya kepada orang-orang yang ahli olah raga tentang langkah-langkah yang benar berkait dengan hal itu, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak baik akibatnya.
Semua ini tidak ada yang dapat memahaminya dengan benar kecuali orang yang telah mengenal tabiat jiwa dan juga mengenal iklim tempat jiwa itu dapat hidup berkembang sebagaimana yang telah dipahami oleh Musthafa Shadiq ar-Rafi'i saat berkata, "Seperti pohon, ada iklim yang cocok yang dapat melindunginya...ada iklim yang dapat membuatnya layu..dan ada iklim yang membuatnya punah.. demikian juga yang dilakukan jiwa jika terkondisikan oleh suatu iklim." (Wahyu al-Qalam, 2/201)
Yang kami sebutkan ini adalah bagian kecil dari seni mendidik jiwa yang dilakukan oleh manusia sedikit demi sedikit secara konsisten, sehingga dia dapat mengentaskan jiwanya dari wilayah ajakan pada kejahatan (jiwa amarah) ke wilayah ketenangan (muthma'innah) dan penghayatan diri (lawwamah) yang dapat membuatnya terus menanjak ke derajat para salikin.[]
Abdul Hamid al-Bilaly